Oleh: Raden Marhaen Guevara
KASANEWS.COM – Bandar Lampung – Sejumlah mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung (FISIP Unila) menggelar konsolidasi terbuka pada hari ini di pelataran kampus sebagai bentuk sikap kritis dalam mengawal isu Reformasi Institusi Polri, Senin (10/11/2025).

Aksi ini menjadi respon atas sejumlah kasus yang tidak kunjung diselesaikan oleh Satuan
Reserse Kriminal (Satreskrim) Polresta Bandar Lampung, yang dinilai mencederai cita-cita
reformasi Polri sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri
Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Konsolidasi terbuka ini di mulai pukul 17.00 WIB dan digelar dalam suasana penuh semangat dari para mahasiswa yang mengikutinya.
Para mahasiswa bahkan membawa pamflet berjudul “Mengawal Reformasi Polri: Respon Mahasiswa FISIP terhadap Penegakkan Keadilan!” yang selebarannya disebar untuk para mahasiswa yang mengikuti konsolidasi tersebut.
Forum konsolidasi tersebut dipimpin oleh Ketua BEM FISIP dan Koordinator Umum LSSP Cendekia serta perwakilan organisasi mahasiswa internal kampus seperti BEM, DPM, LSSP Cendekia, LPM Republica, Ketua Umum HMJ dan UKM serta perwakilan komunitas mahasiswa independent dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Dalam pembukaan konsolidasi, salah satu mahasiswa menegaskan bahwa langkah ini
merupakan bentuk respon moral terhadap kemunduran reformasi kepolisian di tingkat daerah.
Meskipun di tingkat pusat Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo tengah gencar mendorong agenda perubahan struktural dan kultural institusi Polri.
“Presiden dan Kapolri bicara tentang reformasi Polri, tapi di lapangan, yang kami temui justru Polresta Bandar Lampung malah mencederai cita-cita luhur untuk mereformasi Polri. Kami tidak bisa lagi diam melihat teman-teman kami yang dikriminalisasi serta kasus-kasus masyarakat yang mandek hingga berbulan-bulan tanpa kejelasan hukum” ujar salah satu mahasiswa dalam forum yang disambut tepuk tangan.
Mahasiswa FISIP Unila dalam forum konsolidasi ini juga menyoroti empat kasus krusial yang dianggap menjadi potret buram penegakan hukum oleh Polresta Bandar Lampung.
Pertama, kasus pengeroyokan terhadap orang tua Al Fadilah Syahadi, yang terjadi pada awal
tahun ini. Meski laporan telah masuk sejak tujuh bulan lalu, hingga kini belum ada satu pun pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka maupun ditahan.
Menurut keterangan keluarga korban, bukti, dan saksi sudah diserahkan lengkap namun proses penyidikan tidak menunjukkan perkembangan berarti.
Mahasiswa menilai hal ini sebagai bentuk kelalaian dan ketidakseriusan aparat dalam memberikan keadilan bagi korban.
Kedua, kasus pencurian dan penggelapan yang menimpa Elpa Atika Sari juga menjadi sorotan tajam. Kasus yang dilaporkan sejak dua tahun lalu ini hingga kini tak kunjung menemui titik terang.
Penyidik disebut tidak memberikan informasi lanjutan kepada korban, sementara barang bukti dan saksi telah lama tersedia.
Mahasiswa menilai, penundaan kasus ini menggambarkan lemahnya komitmen Polresta Bandar Lampung terhadap prinsip profesionalitas dan transparansi hukum.
Ketiga, mahasiswa juga mengangkat kasus yang justru melibatkan aparat kepolisian sendiri terkait dugaan pencurian mobil milik seorang perwira Mabes Polri yang dilakukan oleh oknum anggota Polresta Bandar Lampung.
Kasus ini sempat mencuat di pemberitaan lokal dan menjadi sorotan karena memperlihatkan penyimpangan internal yang parah di tubuh institusi Polri khususnya di Polresta Bandar Lampung.
Namun, seperti dua kasus sebelumnya, publik tidak pernah mendapatkan penjelasan resmi mengenai penanganan dan hasil penyidikan kasus tersebut.
Keempat, kasus yang paling mengguncang kalangan civitas akademika, adalah kasus
kriminalisasi terhadap tiga mahasiswa FISIP Unila yang sebelumnya berupaya menolong
seorang perempuan korban penganiayaan.
Alih-alih diapresiasi, ketiganya justru ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polresta Bandar Lampung sedangkan proses hukum pelaku penganiayaan berjalan lambat karena diduga pelaku merupakan anak seorang anggota dewan.
Kasus ini dianggap sebagai simbol paling nyata dari penyalahgunaan kekuasaan di tubuh kepolisian serta bentuk keberpihakan terhadap yang punya jabatan dan posisi.
Dalam konsolidasi yang berlangsung lebih dari satu jam itu, mahasiswa menilai bahwa Polresta Bandar Lampung telah gagal mewujudkan semangat reformasi Polri.
Para peserta konsolidasi mendesak Kapolda Lampung dan Kapolresta Bandar Lampung untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Satreskrim, termasuk membuka hasil penyidikan ke publik.
Mahasiswa juga menilai bahwa ketidakjelasan proses hukum dalam empat kasus tersebut merupakan cerminan dari struktur birokrasi kepolisian yang tertutup dan minim akuntabilitas. Hal ini hanya memperpanjang krisis kepercayaan publik terhadap institusi Polri.
Selain itu, forum ini juga menyoroti bahwa praktik seperti ini dapat berimplikasi pada
kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.
Data survei nasional yang dirujuk oleh mahasiswa menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap Polri sempat menurun tajam pasca berbagai kasus pelanggaran etik di tubuh kepolisian.
Menjelang penutupan, forum konsolidasi mahasiswa FISIP Unila menghasilkan keputusan kolektif berupa rencana aksi massa yang akan digelar dalam waktu dekat di Polda Lampung.
Aksi ini akan menjadi bentuk nyata dari komitmen mahasiswa dalam mengawal jalannya reformasi Polri di tingkat daerah.
Dalam hasil konsolidasi yang dibacakan secara resmi melalui pernyataan sikap, terdapat tujuh poin tuntutan utama yaitu:
1. Menuntut Kapolda untuk menegakkan profesionalisme, netralitas, dan integritas
institusi Polri di wilayah hukum Polda Lampung.
2. Mendesak Kapolda untuk memberi perintah menuntaskan seluruh kasus hukum yang
mandek di Polresta Bandar Lampung, tanpa pandang bulu dan tanpa intervensi
kepentingan apa pun.
3. Menuntut Kapolda Lampung untuk mencopot Kapolres serta Kasat Reskrim Polresta Bandar Lampung.
4. Menegaskan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses hukum,
termasuk keterbukaan informasi kepada publik dan pengawasan eksternal yang
independen.
5. Menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap mahasiswa, masyarakat, dan aktivis yang kritis menyuarakan suara rakyat.
6. Mendesak evaluasi total terhadap seluruh penyidik di Satuan Reskrim Polresta Bandar
Lampung untuk membersihkan oknum yang menyalahgunakan kewenangan.
7. Meminta untuk mengawal dalam peningkatan kapasitas Rekrutmen Polri menjadi minimal lulusan perguruan tinggi.
Konsolidasi hari ini bukan hanya agenda internal mahasiswa, tetapi juga menjadi bentuk refleksi terhadap kegagalan sistemik reformasi kepolisian di tingkat daerah.
Mahasiswa menilai bahwa upaya reformasi yang digagas pemerintah pusat akan sia-sia tanpa pengawasan publik yang kuat di lapangan.
Dengan konsolidasi ini, mahasiswa FISIP Unila menegaskan diri sebagai penjaga nalar kritis dan suara moral publik. Di tengah krisis legitimasi hukum dan tumpulnya keadilan, mereka memilih untuk turun tangan.
Sebab, bagi mereka, reformasi Polri bukan sekadar wacana institusional pemerintah pusat, melainkan pertarungan untuk mengembalikan marwah institusi Polri. (*)








