Oleh: Rafly Nugraha (Aktivis HMI Bandar Lampung)
Di tengah gejolak berskala nasional untuk mereformasi institusi Polri, Polresta Bandar Lampung kini jadi sorotan bukan karena prestasi, tapi karena banyaknya masalah yang ada di dalamnya. Dimulai dari dugaan laporan masyarakat yang dianggap angin lalu hingga perilaku sejumlah anggotanya yang kian “problematik”.

Lebih parah lagi, muncul dugaan bahwa hanya laporan dari “orang hebat” yang ditindaklanjuti. Mereka yang punya jabatan, nama besar, atau koneksi langsung dilayani. Sementara rakyat biasa? Harus berulang kali datang, menunggu, dan pulang dengan tangan kosong. Ini bukan sekadar persoalan pelayanan publik yang buruk ini sudah menjadi bentuk nyata dari matinya keadilan.
Dugaan kriminalisasi mahasiswa FISIP, kemudian macetnya proses laporan Alfadilah Syahadi selama tujuh bulan, hanyalah puncak dari gunung es. Di kolom komentar media sosial, keluhan serupa berseliweran menegaskan bahwa persoalan ini bukan kebetulan, melainkan pola.
Di mana Kanit saat laporan itu diserahkan?
Di mana Kasat ketika rakyat kecil datang meminta keadilan?
Dan di mana Kapolres ketika institusi yang dipimpinnya mulai kehilangan arah dan nurani?
Jangan berpura-pura tidak tahu. Karena setiap laporan yang diabaikan adalah bukti bahwa sistem di tubuh Polresta sedang sakit parah.
Ketika rakyat kecil harus mengemis perhatian polisi agar laporannya diproses, atau bahkan harus memakai cara viralitas agar dilirik, maka yang rusak bukan hanya prosedur, tapi moral.
Kanit yang tidak tanggap berarti gagal menjalankan tugas.
Kasat yang diam berarti ikut membiarkan ketidakadilan berjalan.
Kapolres yang tidak bertindak berarti menutup mata terhadap penderitaan warganya sendiri.
Dan institusi yang membiarkan semua ini berarti kehilangan legitimasinya di mata publik.
Padahal, Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan jelas menyebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Membiarkan laporan rakyat diabaikan berarti mengkhianati mandat undang-undang itu sendiri.
Lebih jauh, adagium hukum mengingatkan:
“Fiat justitia ruat caelum” Tegakkan keadilan, walau langit runtuh.
Tapi hari ini, adagium itu seakan tak lagi hidup di Polresta Bandar Lampung. Yang terjadi justru kebalikannya: “Biarlah keadilan runtuh, asal kekuasaan tetap berdiri.”
Sudah saatnya Polresta Bandar Lampung berhenti berlindung di balik seragam dan jabatan.
Hentikan praktik tebang pilih. Hentikan budaya “asal siapa yang melapor.”
Karena hukum tidak diciptakan untuk melayani yang kuat, melainkan untuk melindungi yang lemah.
Jika pimpinan Polresta masih punya nurani, maka kritik ini harus dijadikan cermin, bukan ancaman.
Karena suara rakyat yang kecewa bukanlah bentuk kebencian tapi jeritan keadilan yang selama ini dibungkam oleh sistem yang timpang.
Dan percayalah, ketika rakyat kehilangan harapan kepada aparat, maka tak ada lagi yang bisa menyelamatkan wibawa hukum di negeri ini. (*)